Neoliberalisasi Pendidikan Indonesia


”Lunturnya rasa nasionalisme itu antara lain disebabkan lahirnya perdagangan bebas yang merontokkan batas-batas negara serta kemajuan teknologi informasi yang tidak mengenal batas-batas waktu dan tempat”

H.A.R. Tilaar (2005)

Menurut WTO, lingkup pendidikan mencakup: (1) pendidikan dasar, (2) pendidikan menengah, (3) pendidikan tinggi, (4) pendidikan orang dewasa, dan (5) pendidikan lainnya. WTO pun telah menyediakan empat mode penyediaan jasa pendidikan, yaitu: (1) Cross-border supply, institusi pendidikan tinggi luar negeri menawarkan kuliah-kuliah melalui internet seperti on-line degree program, distance learning, dan tele course. (2) Consumption abroad, penyediaan jasa pendidikan tinggi yang paling dominan, yaitu pengiriman mahasiswa ke luar negeri. (3) Commercial presence, lembaga pendidikan luar negeri hadir secara fisik di Indonesia dengan membentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan lembaga pendidikan tinggi dalam negeri. (4) Presence of natural persons, yaitu dosen atau pengajar asing mengajar pada lembaga pendidikan lokal. Dari beberapa mode layanan pendidikan tersebut, maka sudah beberapa lama Indonesia menerapkannya, hanya saja belum diatur legalitas hukumnya.

Neoliberalisme RUU BHP

Setelah menandatangani GATS, maka pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden RI (Perpres) No. 76 tahun 2007 dan Perpres 77 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa pendidikan termasuk sektor yang terbuka bagi penanaman modal asing, maksimal sampai dengan 49 persen di “bidang usaha” pendidikan dasar, menengah, tinggi, dan nonformal. Oleh karena itu, sebelum lahir UU Sisdiknas tahun 2003, menjelang tahun 2000 hingga sekarang perguruan tinggi pun sudah melakukan transformasi dari institusi yang tadinya bergantung pada pemerintah menuju badan hukum yang mandiri lepas dari birokrasi pemerintah. Otonomi tersebut diwujudkan dengan dibentuknya badan hukum perguruan tinggi di Indonesia dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 61 tahun 1999 dan disusul dengan PP No. 155/2000 yang menjadikan empat perguruan tinggi, yaitu Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Institut Teknologi Bandung (ITB) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), jejak tersebut kemudian diikuti oleh USU dan UPI.

Setelah itu pemerintah kemudian menginisiasi RUU BHP karena telah terikat oleh amanat UU No. 20/2003 pasal 53 ayat (4). RUU inilah yang dipandang sebagai jalan pembuka kapitalisme pendidikan, menempatkan pendidikan subordinat dari sistem ekonomi neoliberalisme, dan menjadikannya sekadar komoditas dagang. Hal ini karena dalam draft awal RUU BHP juga menyinggung tentang modal asing dalam bidang pendidikan sampai 49 persen. WTO dengan GATS-nya memang tidak secara eksplisit menyatakan penarikan tanggungjawab pemerintah atas dunia pendidikan, namun pola dan strategi implementasi, juga globalisasi dan ideologi neoliberalisme yang berada di baliknya meniscayakan ditariknya peran negara dalam memenuhi tanggungjawabnya atas dunia pendidikan.

Banyak pihak mengkhawatirkan keberadaan lembaga pendidikan dalam negeri yang masih kembang kempis jika mesti berkompetisi dengan lembaga pendidikan asing di Indonesia. Di sisi lain ketika asing boleh menanamkan modalnya sampai 49 persen, dikhawatirkan lembaga pendidikan tersebut akan banyak disetir oleh asing, baik orientasi belajar, pemahaman keilmuan, sampai pada budaya dan filosofi pendidikannya. Walaupun pada draft RUU BHP versi April 2008 pasal 12 telah dihapuskan, namun kontroversi tetap berlanjut ketika ketentuan pendirian lembaga pendidikan asing dan kepemilikan modal tersebut masuk dalam RPP pengelolaan dan pelayanan pendidikan yang dikeluarkan pada Juni 2008. Di situ ditegaskan bahwa pihak asing boleh investasi di lembaga pendidikan sebanyak 49 persen.

Menangapi hal itu Mendiknas Bambang Sudibyo menyatakan kepada anggota DPR mengenai Perpres No. 77/2007 tentang Daftar Bidang Usaha Terbuka dan Tertutup dalam rapat kerja Komisi X, bahwa penanaman modal asing di bidang pendidikan akan dilakukan terbatas pada lima kota besar, yaitu Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Medan. Selain itu, saat ini hanya berlaku pada bidang pendidikan politeknik dan pendidikan luar sekolah seperti kursus. Dinyatakan juga bahwa dasar hukum adanya penanaman modal asing di bidang pendidikan tidak hanya berdasarkan pada Perpres saja, tetapi juga adanya tawaran dari Departemen Perdagangan mengenai kesepakatan pemerintah Indonesia dalam perundangan WTO di Jenewa, Swiss, pada 2002.

Dalam tawaran itu, pendidikan menjadi bagian yang ditawarkan dalam arus globalisasi, namun Depdiknas meminta tidak dibuka secara liberal, tetap harus ada persyaratan yang mesti dipenuhi jika modal asing masuk ke Indonesia di bidang pendidikan. Prihatin dengan kebijakan tersebut, Mantan Rektor UGM, Sofian Effendi menyatakan, dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No 77/2007 maka dunia pendidikan di Indonesia akan menjadi ladang bisnis luar biasa bagi pemodal asing, karena dalam PP tersebut dunia pendidikan dimasukkan sebagai bidang usaha terbuka yang menjadi pintu masuk kekuatan asing di dunia pendidikan (Media Indonesia, 18/9/07).

Adanya modal asing pada institusi pendidikan menjadikan adanya intervensi sang pemilik modal atas institusi tersebut. Lagipula investasi sebagai sebuah termilogi ekonomi memang bernalar materialistik, bukan nalar intelektual, karena sudah pasti orang yang investasi tidak lain tujuannya kecuali ingin mendapatkan untung, baik materiil maupun dalam bentuk lain, ini sudah lazim dalam konsepsi ekonomi. Oleh karena itu, ruh dinamika dan berjalannya agenda program institusi akan selalu berorientasi pada mencari untung. Selain keuntungan finansial yang sudah pasti dituju oleh pihak investor, tidak menutup kemungkinan adanya keuntungan lain yang dituju, dan nalar materialis biasanya akan melakukan berbagai cara untuk mencapai tujuannya itu.

Dengan neoliberalisasi yang mendasarinya maka patut dicurigai bahwa salah satu intervensi yang akan dilakukan adalah dalam rangka menanamkan ideologi neoliberal tersebut pada peserta didik, baik melalui konstruk ilmu pengetahuan maupun kultur yang dibangun di sekolah atau perguruan tinggi tersebut. Sekarang saja dalam perguruan tinggi yang telah menjadi BHMN glamor kehidupan dari kultur modernitas sudah terasa dengan nalar mencari keuntungan ekonomi yang sangat besar, hal yang sama juga terjadi di PTS-PTS favorit. lebih rawan lagi adalah pada fakultas atau jurusan yang telah menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi di luar negeri dalam bentuk dual degree.

Lepas Tanggungjawab Pemerintah

Pemerintah mengaburkan tanggungjawabnya atas pendanaan pendidikan pada RUU BHP versi Juni 2008, bab VI tentang pendanaan pada pasal 33 ayat (2) dengan menyatakan bahwa pendidikan formal yang diselenggarakan badan hukum pendidikan menjadi tanggungjawab bersama Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pada RUU BHP versi 24 Januari 2008 terdapat pada pasal 32 ayat [2]). Di sini kata-kata ‘tanggungjawab bersama’ selama ini menjadi dalih pemerintah untuk tidak memenuhi pendanaan pendidikan.

Pada draft usulan RUU BHP versi Juni 2008 pasal 34 ayat (1) dinyatakan, bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah hanya menanggung biaya pendidikan dasar berdasarkan standar minimal saja, ayat (2) menyatakan pemerintah daerah dan masyarakat ‘dapat’ memberikan bantuan sumberdaya pendidikan pada badan hukum pendidikan. Sementara untuk pendidikan menengah dan tinggi Pemerintah dan pemerintah daerah hanya menanggung ‘sekurang-kurangnya’ 2/3 biaya pendidikan untuk biaya operasional, investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik berdasarkan ‘standar pelayanan minimal’ (pasal 34 ayat [3] & [4]).

Dengan demikian acuannya sekadar standar minimal saja dan obsesi untuk wajib belajar 12 tahun yang sempat dilontarkan pemerintah tak lagi menjadi pertimbangan, dan jelas dengan demikian minim komitmen pemerintah pada upaya meningkatkan pendidikan untuk menciptakan kader bangsa yang berkualitas. Banyak obsesi pemerintah yang dipaksakan pada pendidikan menengah dan tinggi dengan sekolah berstandar internasional dan world class university akan kian menekan masing-masing lembaga pendidikan menengah dan tinggi dengan minimnya alokasi dana untuk mereka. Pun dalam klausul tersebut badan hukum yang dimaksud tersebut adalah BHPP yang didirikan pemerintah pusat dan BHPPD yang didirikan pemerintah daerah. Agaknya pihak swasta tidak mendapat perhatian di sini.

Pengaburan kewajiban juga terdapat pada draft RUU BHP versi Juni 2008 pasal 34 ayat (5) yang menyatakan bahwa peserta didik ‘dapat’ ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan kemampuannya, orangtua, atau pihak yang bertanggungjawab membiayai. Tanggungjawab tersebut sebanyak-banyaknya adalah 1/3 dari seluruh biaya operasional (pasal 34 ayat [6]). Sebelumnya, pada pasal 33 ayat (3) sudah dinyatakan pula bahwa pungutan oleh badan hukum pendidikan kepada peserta didik atau orangtua/wali dilakukan dengan subsidi silang, dengan demikian sudah terlebih dahulu ‘pungutan’ disahkan oleh RUU BHP ini.

Pada pasal 38 ayat (1) tentang alokasi dana 20 persen untuk beasiswa atau bantuan biaya pendidikan dirasa akan membebani BHP bersangkutan, hingga kebijakan ini akan memaksa mereka untuk terus mencari dana besar-besaran dalam memenuhi pendanaan operasional dan pemberian beasiswa. Sementara pada pasal 38 ayat (2) yang menyatakan bahwa beasiswa tersebut ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah belum disepakati oleh pemerintah. Dalam pasal itu pun belum jelas antara BHPP dan BHPM. Mestinya dalam draft tersebut terdapat ketegasan dan kejelasan peran dan fungsi pemerintah, dan pemerintah betul-betul bertanggungjawab atas dunia pendidikan. Dengan demikian terlihat betapa jelas bahwa pemerintah justru membebankan kewajiban memberi beasiswa pada badan hukum pendidikan.

Oleh karena itu, untuk pemenuhan pendanaan, badan hukum pendidikan dibolehkan mendirikan badan usaha berbadan hukum (pada pasal 35 draft RUU BHP versi Juni 2008), sebelumnya pada RUU BHP versi 24 Januari 2008 pasal 37 badan hukum tersebut jelas disebut perseroan terbatas, sementara dalam draft terakhir ini justru masih ‘tanda tanya’. Kenyataannya di UI, PT Makara yang telah menjalankan fungsi tersebut (karena UI telah menjadi BHMN) selama delapan tahun tidak pernah untung, namun justru merugi terus, dan ironisnya tidak ada transparansi berkaitan dengan berbagai pemasukan dana dari luar sampai pengalokasian dan realisasi kontribusinya bagi kampus.

Selain itu Timus dalam draft terbaru versi Juni 2008 pasal 34A (pasal 39 versi Pemerintah) mengusulkan bahwa badan hukum dapat melakukan investasi dalam bentuk portofolio, padahal investasi ini pasti berasal dari anggaran badan hukum pendidikan, ini tentu akan mengganggu jalannya operasional badan hukum pendidikan. Orientasinya menjadi sangat berbau mencari keuntungan sekali dengan adanya badan usaha dan investasi. Mestinya terdapat ketentuan tentang batasan-batasan etika intelektual yang orientasi pada intelektualisme, atau keberpihakan pada pencarian kebenaran –kata Bung Hatta, hingga tidak akan terjebak pada bisnis kepakaran, atau bahkan pelacuran intelektual. Hal ini mungkin sulit dilakukan karena paradigma RUU BHP ini sepenuhnya berorientasi ekonomi, maka semuanya akan .

Sampai pada draft terakhir RUU BHP versi hasil Timus 20, 22—23 Juni 2008, tidak banyak terdapat perubahan substansial, hanya penambahan dan pengurangan di sana-sini, ironisnya sekadar dalam hal redaksional saja. Sampai draft versi Juni 2008 tersebut, pemerintah belum menyepakati tentang tanggungjawab persentase pendanaan yang mesti ditanggungnya. Di samping itu, masih terdapat banyak inkonsistensi penggunaan istilah ‘penyelenggara’ dan ‘pengelola’ yang dipermasalahkan oleh banyak PTS. Yang tak kalah mengerikan adalah hilangnya istilah ‘guru’, ‘sekolah’, ‘siswa’ atau ‘murid’, berganti dengan istilah ‘pendidik’, ‘tenaga didik’, ‘satuan pendidikan’, dan ‘peserta didik’. Padahal dalam istilah-istilah tersebut terkandung filosofi yang lebih luas dan dalam. Misalnya adalah konsepsi ‘guru’ yang memiliki wibawa, panggilan hati, keluasan dan kedalaman ilmu serta pengabdian, tentu lebih luas ketimbang istilah pendidik yang sekadar berdimensi teknik dan profesi.

Darwin SN (Suara Pembaruan, 7/6/08) menyatakan, bahwa proses liberalisasi pada sektor pendidikan di Indonesia sama seperti pada liberalisasi sektor migas, yakni mengharuskan pemerintah melepaskan diri dari tanggungjawab sektor pendidikan. Untuk memuluskan liberalisasi migas, seluruh rakyat Indonesia “menikmati” kenaikan harga BBM dengan legalisasi UU Migas. Begitu juga bidang pendidikan dengan RUU BHP nantinya. PP No. 60/1999 tentang perubahan administrasi institusi perguruan tinggi dan PP No. 61/1999 tentang penetapan perguruan tinggi sebagai BHMN, bagi Darwin merupakan tindak lanjut pertemuan Unesco di Paris. Sejak tahun 1980-an, negara-negara maju mendapatkan income besar dari sektor jasa. Ender & Fulton (2002: 104-105) menyebutkan tiga negara yang mendapatkan keuntungan paling besar dari liberalisasi adalah Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Pada 2000, ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai USD 14 miliar atau Rp. 126 triliun. Di Inggris, sumbangan pendapatan dari ekspor jasa pendidikan mencapai 4 persen dari penerimaan sektor jasa negara tersebut.

Menurut Millea (1998), sebuah publikasi rahasia berjudul Intelligent Export mengungkapkan, bahwa pada tahun 1993 sektor jasa telah mengumbang 20 persen dari PDB Australia, menyerap 80 persen tenaga kerja dan merupakan 20 persen dari ekspor total Australia. Sebuah survei pada 1993 menunjukkan, industri jasa yang paling menonjol orientasi ekspornya adalah jasa komputasi, pendidikan, dan pelatihan. Ekspor jasa pendidikan dan pelatihan tersebut telah menghasilkan 1,2 miliar dolar Australia. Fakta tersebut dapat menjelaskan mengapa ketiga negara tersebut amat getol menuntut liberalisasi sektor jasa pendidikan melalui WTO. Lebih kurang sampai sekarang enam negara telah meminta Indonesia membuka sektor jasa pendidikan, yakni Australia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, Korea, dan Selandia Baru.

* Edi Subkhan, penulis, tinggal di Jakarta.

0 comments: